Meneladani Hikmah dibalik Skertsa Kehidupan Rasul

Monday 29 June 2009

“Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka bebrapa kisah yang di dalamnya terdapat beberapa cegahan (dari kekafiran). Itulah suatu hikmah yang sempurna, maka mengapa peringatan itu tidak bermanfaat.”(Al-Qamar: 4-5)

Siapa mengira bahwa Muhammad yang dilahirkan oleh seorang bunda tanpa ada lagi sang ayah disisinya, menjadi orang besar di tengah masyarakatnya. Di usia 5 tahun, ketegaran kembali harus dilakoninya, ibu yang dicintainya meninggal dalam perjalanan menuju makam ayahanda tercinta. Setelah wafat sang ibu, Muhammad kecil dipelihara oleh pengasuhnya yang dipercaya oleh ibunya, Halimatus Sa’diah, seorang ibu miskin di pelosok kampung yang memiliki dua anak lainnya. Ketika sang kakek menginginkan Muhammad agar kembali ke Mekkah, Muhammad pun kembali ke keluarganya di Mekkah bersama kakeknya Abdul Muthalib. Tak lama berselang, sang kakek pun meninggal dunia, kemudian Muhammad dibesarkan oleh Pamannya Abu Thalib. Ditengah keluarga miskin inilah, bersama 11 orang saudara sepupunya Muhammad mulai belajar hidup mandiri, untuk menemui jati dirinya sebagai seorang Harapan Baru Umat.
Begitulah penggalan kisah dari sketsa panjang kehidupan Muhammad SAW, Khatamul Anbiya’I wal Mursalin. Tidak ada yang istimewa dari jalan hidupnya, namun dia bisa memunculkan narasi-narasi besar dalam menjalani kehidupan. Tidak ada kemewahan yang ia temukan, namun ia bisa mengubah harapan kecilnya menjadi sebuah fakta kehidupan. Berawal dari ia dilahirkan, ditengah kejahiliyaan peradaban pada waktu itu, dan tanpa pernah menatap wajah dan merasakan sentuhan cinta seorang ayah, namun ia masih memilki harapan, masih ada seorang janda Aminah yang terkenal dengan kecerdasan dan keuletannya ditengah perempuan-perempuan mekkah, memberikan sentuhan kasih sayang kepada Muhammad kecil. Posisi ‘Single Parent’ yang disandang Aminah ternyata telah berhasil membentuk kepribadian Muhammad sebagai seorang yang tidak cengeng menghadapi kehidupan. Masa kecilnya dilalui dengan keceriaan serta rasa cinta dan kasih sayang dari semua orang yang menjumpainya.
Begitu juga setelah Nabi Muhammad dipelihara dan disusui oleh halimatus Sa’diah, beliau hidup dalam kedamaian dan keharmonisan kehidupan, dibesarkan ditengah perkampungan yang masih steril dari pengaruh kajahiliyaan masyarakat yang menganggap bahwa budaya jahiliyah mereka adalah sebuah peradaban yang maju. Dengan itu, maka terbentuklah mentalitas yang bersih pada dirinya, yang kemudian membuahkan hasil dalam wujud kejujurannya ditengah kehidupan bermasyarakat. Hal itu terus dibawanya sampai Muhammad yang beranjak remaja kembali ke kota Mekkah untuk menjalani kehidupan bersama kakeknya, sampai kita baca dalam literature sejarah bahwa Muhammad diberi gelar sebagai Al-Amin di tengah masyarakat kota Mekkah.
Ketika Nabi Muhammad telah bersama kakeknya di Mekkah, beliau mulai menunjukkan kecerdasannya. Kepercayaan orang yang berbuah diberikan gelar Al-Amin kepadanya ternyata tidak hanya cukup baginya untuk memulai perjalanan panjang dari kisah hidupnya untuk menerobos alam kejahiliyan seraya membawa cahaya yang siap menerangi orang di sekelilingnya. Muhammad mulai melakukan sosialisasi dengan masyarakat pada waktu itu. Setiap rapat antar qabilah maupun pertemuan internal qabilah dihadirinya untuk mengenali kehidupan sosial kota Mekkah waktu itu. Sang kakek, sebagai orang yang terpandang dalam suku Qurays pun tidak menyia-nyiakan kemauan dan kecerdasan sang cucu untuk memberikan pembelajaran politik dan sosiologis masyarakat. Muhammad Al-Amin senantiasa dijadikan kebanggaan bagi kakeknya terhadap pemuka masyarakat Qurays pada waktu itu, sehingga tak heran lagi, bahwa Muhamad remaja telah menjadi tokoh dan harapan masa depan Mekkah di kemudian hari.
Belum sempurna, pembelajaran kehidupan yang ditransfer sang kakek kepadanya, Kakek yang dicintainya itupun dipanggil oleh yang maha kuasa. Kemudian Muhammad Remaja hidup bersama pamannya. Sang paman pun tak mau menyia-menyiakan harapan yang telah lebih dahulu ditanam oleh Abdul Muthalib kepada Muhammad. Di tengah keterbatrasan kehidupannya, Abu Thalib berusaha agar Muhamnmad tetap menjadi apa yang diharapkan orang kepadanya, menjadi tokoh panutan dan inspirasi keteladanan ditengah masyarakat. Semua dimensi kehidupan diajarkan oleh sang paman kepada Muhammad, mulai dari mengembala ditengah padang pasir yang tandus di kota Mekkah samapai Beradagang ke seluruh penjuru negeri. Tidak hanya, dimensi kehidupan cultural yang ajarkan oleh pamannya, namun kehidupan spiritual dan intelektual pun tidak dilewatkan olehnya. Dua dimensi kehidupan inilah yang mulai membuka jalan Bagi Nabi Muhammad untuk mennemui jati dirinya sebagai pengemban amanah risalah kenabian yang beberapa abad lamnya tidak dirasakan oleh umat manusia yang kemudian mnjerumuskan mereka kepada pola kehidupan tanpa arah dan dipenuhi dengan nafsu dan syahwat dunia belaka.Begitulah sepenggal sketsa kehidupan penuh hikmah yang dilewati oleh Raslulullah dalam mengisi seper-empat bagian dari usia kehidupannya. Waktu yang tidak lama sebanarnya, namun ia berhasil melewatinya dengan membawa narasi-narasi besar untuk perubahan dan perbaikan yang besar pula. Ketegaran, Kesabaran, Kecerdasan, Keuletan, Ketajaman Insting, Kejujuran dan Kepedulian yang telah dilakoni sang Nabi telah berhasil mengantarkannya dalam menanam tonggak-tonggak dasar bangunan yang kokoh bernama Dienul Islam. Tidak hanya sampai disitu saja, Nabi Muhammad juga memiliki kecerdasan startegi dalam memabangun pola Managing People untuk membantu gerak dakwahnya di kemudian hari. Insyaallah kita akan lakukan kajian terhadapa pola Manajemen SDM tersebut dilain kesempatan. Mudah-mudahan kita bisa mengambil Hikmah.

Posted by Hasriadi Hasan at 23:46  

0 comments:

Post a Comment