MEMBANGUN PONDASI UMAT
Tuesday 30 June 2009
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (90) وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللَّهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلَا تَنْقُضُوا الْأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلًا إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ (91) وَلَا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا تَتَّخِذُونَ أَيْمَانَكُمْ دَخَلًا بَيْنَكُمْ أَنْ تَكُونَ أُمَّةٌ هِيَ أَرْبَى مِنْ أُمَّةٍ إِنَّمَا يَبْلُوكُمُ اللَّهُ بِهِ وَلَيُبَيِّنَنَّ لَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (92) وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (93)
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (90) Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat (91) Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu (92) Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (Annahl / 16 : 90-93)
Kitab ini datang untuk membangun suatu umat dan mengatur masyarakat, juga untuk mewujudkan satu dunia dan menegakkan satu sistem. Ia datang sebagai panggilan universal humanis, tanpa ada fanatisme di dalamnya terhadap satu kabilah atau umat atau ras. Akidah semata yang menjadi tali perekat dan fanatisme.
Dari sini, Kitab ini datang membawa prinsip-prinsip yang menjamin rekatnya komunitas, ketentraman individu, umat, dan bangsa, serta kepercayaan pada hubungan sosial, janji, dan perjanjian.
Ia datang membawa “keadilan” yang menjamin setiap individu, setiap komunitas, dan setiap kaum memperoleh aturan main bagi interaksi yang kuat, tidak mengikuti hawa nafsu, tidak terpengaruh rasa senang atau benci, dan tidak terpengaruh oleh hubungan kerabat, kaya dan miskin, kuat dan lemah. Ia berjalan pada jalurnya, mengukur dengan satu ukuran dan menimbang dengan satu kriteria untuk semua (bukan dengan standar ganda).
Di sisi lain, Kitab ini juga membawa kebaikan. Ia memperhalus tajamnya keadilan, dan memberi jalan bagi orang yang ingin bertoleransi dan merelakan sebagian haknya demi mementingkan simpati di hati dan demi mengobati rasa dengki dalam dada. Ia juga memberi jalan bagi orang yang ingin meraih sesuatu yang lebih tinggi daripada keadilan yang wajib baginya, untuk mengorbati luka atau mencari keutamaan.
Kebaikan itu sangat luas maknanya. Setiap perbuatan positif adalah kebaikan, dan perintah berbuat baik itu mencakup semua perbuatan dan interaksi. Ia juga mencakup seluruh ranah kehidupan dalam hubungan seorang hamba dengan Tuhannya, hubungannya dengan keluarganya, dengan komunitasnya, dan dengan seluruh umat manusia. (Sebagian ulama tafsir mengatakan bahwa menjalankan keadilan itu hukumnya wajib, dan berbuat baik itu hukumnya sunnah dalam perkara ibadah secara khusus. Pendapat ini bersandar pada realita bahwa ayat ini adalah makkiyyah, dimana syari’at belum diturunkan. Tetapi, generalitas lafazh menunjukkan bahwa menjalankan keadilan dan kebaikan dimaksud itu bersifat mutlak. Apalagi karena keadilan dan kebaikan merupakan dua prinsip umum dari sisi moral, bukan sekedar aturan perundang-undangan)
Di antara bentuk kebaikan adalah “memberi kepada kerabat dekat”. Perintah memberi kepada kerabat dekat ditampilkan di sini untuk mengagungkan kedudukannya dan untuk menegaskan perkaranya. Perintah ini tidak berdiri pada fanatisme keluarga, melainkan pada prinsip solidaritas yang diajarkan Islam secara bertahap dari lingkungan pribadi kepada lingkungan umum, sesuai persepsi organiasional Islam terhadap solidaritas.
“Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan..” Kata al-fakhsya’ secara epistimologis berarti setiap perkara yang melampaui batas. Termasuk perkara yang melampaui batas adalah yang menjadi konotasi umum kata ini, yaitu perbuatan melampaui batas yang merusak kehormatan (zina). Karena zina merupakan perbuatan keji yang melampaui batas, sehingga kata ini dikhususkan untuk makna tersebut. Kata al-munkar berarti setiap perbuatan yang tidak dikenal fitrah, dan karena itu tidak ditolak oleh syari’at yang didasarkan pada fitrah. Terkadang fitrah menyimpang, namun syari’at tetap menunjukkan orisinalitas fitrah sebelum ia menyimpang. Dan kata al-baghyu berarti kezhaliman dan melanggar hak dan keadilan.
Tidak mungkin ada satu masyarakat bisa berdiri dengan diwarnai perbuatannya keji, mungkar, dan permusuhan. Tidak ada satu pun masyarakat yang sanggup eksis bila di dalamnya perbuatan keji, mungkar, dan permusuhan terjadi secara luas.
Setelah satu fase tertentu, fitrah manusia pasti menolak faktor-faktor yang destruktif ini, betapapun kuatnya ia, dan sekalipun para thaghut menggunakan berbagai cara untuk melindunginya. Sejarah umat manusia dipenuhi dengan aksi penolakan terhadap perbuatan keji, munkar, dan permusuhan. Tidak penting apakah telah ada perjanjian atau telah berdiri negera-negera yang mendukungnya untuk jangka waktu tertentu. Pemberontakan terhadapnya itu menjadi bukti bahwa ia merupakan unsur asing di luar struktur kehidupan, sehingga kehidupan itu menggeliat untuk menolaknya, sebagaimana makhluk hidup menggeliat untuk menolak benda asing yang masuk ke dalam tubuhnya. Perintah Allah untuk berlaku adil dan berbuat baik, serta larangan-Nya untuk berbuat keji, mungkar, dan permusuhan itu sejalan dengan fitrah yang bersih dan sehat, menguatkannya, dan mendorongnya untuk melawan atas nama Allah. Karena itu, perintah dan larangan itu diulas dengan penjelasan, “Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (90) Ini adalah pengajaran untuk diingat-ingat seperti mengingat-ingat wahyu fitrah yang orisinil dan lurus.
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat..” (91)
Memenuhi janji Allah itu mencakup bai’at yang dilakukan umat Islam kepada Rasulullah saw, dan mencakup setiap perjanjian baik yang diperintahkan Allah. Memenuji janji menjamin terpeliharanya unsur kepercayaan dalam interaksi antar manusia. Tanpa kepercayaan ini suatu masyarakat tidak akan eksis, dan kemanusiaan tidak akan berdiri. Nash ini menggelitik rasa malu orang-orang yang saling berjanji untuk tidak melanggar sumpah setelah meneguhkannya, dan setelah mereka menjadikan Allah sebagai penjamin bagi mereka, menjadikan-Nya saksi atas janji mereka, dan menjadikan-Nya jaminan untuk memenuhi janji tersebut. Kemudian nash tersebut mengancam mereka secara intrinsik, “Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat..”
Kutipan di buku
Tafsir Fi Zhilalil Qur'an
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (90) Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat (91) Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu (92) Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (Annahl / 16 : 90-93)
Kitab ini datang untuk membangun suatu umat dan mengatur masyarakat, juga untuk mewujudkan satu dunia dan menegakkan satu sistem. Ia datang sebagai panggilan universal humanis, tanpa ada fanatisme di dalamnya terhadap satu kabilah atau umat atau ras. Akidah semata yang menjadi tali perekat dan fanatisme.
Dari sini, Kitab ini datang membawa prinsip-prinsip yang menjamin rekatnya komunitas, ketentraman individu, umat, dan bangsa, serta kepercayaan pada hubungan sosial, janji, dan perjanjian.
Ia datang membawa “keadilan” yang menjamin setiap individu, setiap komunitas, dan setiap kaum memperoleh aturan main bagi interaksi yang kuat, tidak mengikuti hawa nafsu, tidak terpengaruh rasa senang atau benci, dan tidak terpengaruh oleh hubungan kerabat, kaya dan miskin, kuat dan lemah. Ia berjalan pada jalurnya, mengukur dengan satu ukuran dan menimbang dengan satu kriteria untuk semua (bukan dengan standar ganda).
Di sisi lain, Kitab ini juga membawa kebaikan. Ia memperhalus tajamnya keadilan, dan memberi jalan bagi orang yang ingin bertoleransi dan merelakan sebagian haknya demi mementingkan simpati di hati dan demi mengobati rasa dengki dalam dada. Ia juga memberi jalan bagi orang yang ingin meraih sesuatu yang lebih tinggi daripada keadilan yang wajib baginya, untuk mengorbati luka atau mencari keutamaan.
Kebaikan itu sangat luas maknanya. Setiap perbuatan positif adalah kebaikan, dan perintah berbuat baik itu mencakup semua perbuatan dan interaksi. Ia juga mencakup seluruh ranah kehidupan dalam hubungan seorang hamba dengan Tuhannya, hubungannya dengan keluarganya, dengan komunitasnya, dan dengan seluruh umat manusia. (Sebagian ulama tafsir mengatakan bahwa menjalankan keadilan itu hukumnya wajib, dan berbuat baik itu hukumnya sunnah dalam perkara ibadah secara khusus. Pendapat ini bersandar pada realita bahwa ayat ini adalah makkiyyah, dimana syari’at belum diturunkan. Tetapi, generalitas lafazh menunjukkan bahwa menjalankan keadilan dan kebaikan dimaksud itu bersifat mutlak. Apalagi karena keadilan dan kebaikan merupakan dua prinsip umum dari sisi moral, bukan sekedar aturan perundang-undangan)
Di antara bentuk kebaikan adalah “memberi kepada kerabat dekat”. Perintah memberi kepada kerabat dekat ditampilkan di sini untuk mengagungkan kedudukannya dan untuk menegaskan perkaranya. Perintah ini tidak berdiri pada fanatisme keluarga, melainkan pada prinsip solidaritas yang diajarkan Islam secara bertahap dari lingkungan pribadi kepada lingkungan umum, sesuai persepsi organiasional Islam terhadap solidaritas.
“Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan..” Kata al-fakhsya’ secara epistimologis berarti setiap perkara yang melampaui batas. Termasuk perkara yang melampaui batas adalah yang menjadi konotasi umum kata ini, yaitu perbuatan melampaui batas yang merusak kehormatan (zina). Karena zina merupakan perbuatan keji yang melampaui batas, sehingga kata ini dikhususkan untuk makna tersebut. Kata al-munkar berarti setiap perbuatan yang tidak dikenal fitrah, dan karena itu tidak ditolak oleh syari’at yang didasarkan pada fitrah. Terkadang fitrah menyimpang, namun syari’at tetap menunjukkan orisinalitas fitrah sebelum ia menyimpang. Dan kata al-baghyu berarti kezhaliman dan melanggar hak dan keadilan.
Tidak mungkin ada satu masyarakat bisa berdiri dengan diwarnai perbuatannya keji, mungkar, dan permusuhan. Tidak ada satu pun masyarakat yang sanggup eksis bila di dalamnya perbuatan keji, mungkar, dan permusuhan terjadi secara luas.
Setelah satu fase tertentu, fitrah manusia pasti menolak faktor-faktor yang destruktif ini, betapapun kuatnya ia, dan sekalipun para thaghut menggunakan berbagai cara untuk melindunginya. Sejarah umat manusia dipenuhi dengan aksi penolakan terhadap perbuatan keji, munkar, dan permusuhan. Tidak penting apakah telah ada perjanjian atau telah berdiri negera-negera yang mendukungnya untuk jangka waktu tertentu. Pemberontakan terhadapnya itu menjadi bukti bahwa ia merupakan unsur asing di luar struktur kehidupan, sehingga kehidupan itu menggeliat untuk menolaknya, sebagaimana makhluk hidup menggeliat untuk menolak benda asing yang masuk ke dalam tubuhnya. Perintah Allah untuk berlaku adil dan berbuat baik, serta larangan-Nya untuk berbuat keji, mungkar, dan permusuhan itu sejalan dengan fitrah yang bersih dan sehat, menguatkannya, dan mendorongnya untuk melawan atas nama Allah. Karena itu, perintah dan larangan itu diulas dengan penjelasan, “Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (90) Ini adalah pengajaran untuk diingat-ingat seperti mengingat-ingat wahyu fitrah yang orisinil dan lurus.
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat..” (91)
Memenuhi janji Allah itu mencakup bai’at yang dilakukan umat Islam kepada Rasulullah saw, dan mencakup setiap perjanjian baik yang diperintahkan Allah. Memenuji janji menjamin terpeliharanya unsur kepercayaan dalam interaksi antar manusia. Tanpa kepercayaan ini suatu masyarakat tidak akan eksis, dan kemanusiaan tidak akan berdiri. Nash ini menggelitik rasa malu orang-orang yang saling berjanji untuk tidak melanggar sumpah setelah meneguhkannya, dan setelah mereka menjadikan Allah sebagai penjamin bagi mereka, menjadikan-Nya saksi atas janji mereka, dan menjadikan-Nya jaminan untuk memenuhi janji tersebut. Kemudian nash tersebut mengancam mereka secara intrinsik, “Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat..”
Kutipan di buku
Tafsir Fi Zhilalil Qur'an
0 comments:
Subscribe to:
Post Comments (Atom)